Gerakan Desa Membangun (GDM) merupakan sebuah gerakan sosial yang menjadi lingkar belajar desa-desa di seluruh Indonesia. Langkah awal dari GDM adalah mengajak desa untuk mampu menyuarakan dirinya sendiri. Karena tidak dapat dipungkiri, selama ini berita arus utama dikuasai berita-berita ibu kota. Sangat jarang memberitakan desa, kecuali ketika ada kejahatan atau bencana di desa.
Melaui internetlah desa-desa ini menyuarakan dirinya sendiri. Pertama adalah desa memiliki situs web. Selanjutnya adalah memanfaatkan sosial media (Facebook, Twitter, dan yang lain) untuk mempromosikan situs web desa tersebut. Salah satu keberhasilan desa bersuara secara umum adalah alamat internet “desa.id” yang merupakan usulan desa untuk mendapatkan identitasnya di dunia internet. Seperti website desa http://pangebatan.desa.id ini.
Desa Pangebatan bergabung dengan gerakan yang diawali dari Desa Melung, kecamatan Kedungbanteng, Banyumas, pada bulan April 2013. Memenuhi undangan untuk mengikuti lokakarya Desa Membangun di Desa Limpakuwus, kecamatan Sumbang, Banyumas. Sejak saat itu, Desa Pangebatan terlibat aktif untuk bersama belajar dengan desa-desa se-nusantara. Hingga kemudian markas dari gerakan yang di-volunteri relawan-relawan dari berbagai komunitas dan instansi ini pindah ke Desa Pangebatan, kecamatan Karanglewas, Banyumas.
Maka, sudah semestinya Desa Pangebatan selalu mengajak warganya untuk memanfaatkan kesempatan ini. Memanfaatkan Rumah Desa Indonesia yang merupakan rumah belajar bagi desa, untuk menimba ilmu. Baik untuk promosi desa Pangebatan ataupun tata kelola pemerintah desa. Untuk mencapai cita-cita desa Pangebatan yang mandiri. Mandiri untuk menyuarakan dirinya sendiri, mandiri menentukan kebijakan, hingga kemandirian data melalui Sistem Informasi Desa yang juga dikembangkan oleh GDM.
Tanggal 24 Desember 2014, Gerakan Desa Membangun menginjak usianya yang ketiga. Usia muda yang semoga terus berkembang, berkarya dan berbagi. Mengingat ini adalah gerakan sosial yang berdasar kerelaan untuk berbagi. Selamat Harlah GDM. Gerakan Desa Membangun Indonesia #3thGDM.
Focus Group Discusion (FGD) Penguatan Budaya dan Etika Politik Masyarakat dengan tema “Etika dan Budaya Politik Indonesia Menuju Demokrasi Yang Bermartabat” demikian kegiatan yang diselenggarakan oleh Badan Kesbang Pol dan Linmas Provinsi Jawa Tengah di Pondok Slamet Baturraden yang berlangsung dari tanggal 16 – 17 Juli 2012 dengan peserta terdiri dari mahasiswa, ormas, LSM dan pemerintah yang diwakili oleh kecamatan dan kepala desa. Pada hari pertama penyampaikan beberapa makalah dengan narasumber yang terdiri dari M.T. Arifin, SU, M.Si (pengamat politik/budaya), Drs. Joko J. Prihatmoko, MSi (dosen UNWAHAS Semarang) dan terakhir Slamet Sudjono, SH, MH (dosen UNTAG Semarang), bercerita tentang carut marutnya budaya politik di tanah air, sistem Pemilu yang banyak menghabiskan anggaran dan dari sisi kepastian hukum dalam politik dan demokrasi.
Pada hari kedua peserta berdiskusi tentang masalah etika dan budaya politik, masalah, pemecahan masalah sampai dengan rekomendasi. Muncul beberapa masalah terkait tentang diskusi adalah politik uang, premanisme politik, media arus utama yang memberitakan tidak berimbang karena lebih banyak dikuasai oleh partai-partai besar, kemiskinan, pendidikan politik masyarakat.
Diskusi yang menarik namun sayang waktunya yang terbatas sehingga tidak dapat menghasilkan yang optimal. Namun upaya untuk merekomendasikan kepada penyelenggara negara, ormas, dan masyarakat diharapkan dapat membuahkan hasil yang maksimal. Dari hasil diskusi ada beberapa rekomendasi yang penting untuk disampaikan kepada pemerintah, ormas dan masyarakat diantaranya, (1) pentingnya pendidikan budi pekerti masuk dalam kurikulum sekolah sampai perguruan tingi, (2) menghidupkan kembali Pancasila sebagai falsafah (3) Perbanyak sosialisasi tentang etika dan budaya politik yang baik (4) kontrol terhadap media arus utama (5) membentengi generasi muda dengan masuknya budaya asing dan aliran keras lainnya.
Gunung Slamet merupakan gunung tertinggi di Jawa Tengah, dan gunung berbadan besar nomor satu di Indonesia dilingkari 5 kabupaten, yaitu Banyumas, Purbalingga, Pemalang, Tegal dan Brebes dan merupakan sumber ekosistem yang sangat baik dan masih terjaga. Di lereng Sela tan yang termasuk wilayah administrasi Kabupaten Banyumas merupakan lereng yang masih sangat terjaga ekosistemnya dengan pepohonan yang masih sangat rimbun banyaknya keanekaragaman satwa yang dilindungi. Kayu-kayu yang ada disitu juga terdapat banyak jenis tanaman obat salah satunya adalah kayu angin (usnea spp) yang selama ini dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan untuk diambil dan dijual karena sebagai bahan obat-obatan herbal yang kaya dengan manfaatnya, namun setelah kejadian yang menimpa pada salah satu petani dari gerumbul Kalipagu Desa Ketenger yang meninggal dunia di ketinggian 2500 m akibat terkena petir pada saat mengambil kayu angin hingga sekarang masyarakat sekitar hutan tidak lagi mengambil jenis tanaman tersebut. Aktivitas masyarakat ke hutan tetap dilakukan karena mereka masih sangat tergantung dengan sumber daya alam yang ada seperti berburu burung dan lainya. Namun kekayaan sumber daya alam untuk kehidupan warga pinggir hutan yang ada mungkin alambat laun akan punah dengan adanya rencana pembangunan PLTP yang dilaksanakan oleh PT. SAE (Sejahtera Alam Energy). Isu akan adanya pembangunan PLTP disekitar lereng selatan gunung Slamet bagi masyarakat masih belum jelas kapan akan dimulai, walaupun isu sudah terdengar beberapa waktu yang lalu tentang pembangunan PLTP namun secara langsung ke warga belum pernah dilakukan oleh pihak terkait disekitar lereng selatan.
Rasa penasaran untuk mengetahui aktivitas yang akan dikerjakan disekitar gunung Slamet, kami berenam mengadakan pengecekan ke lokasi yang berada di ketinggian 2500 mdpl. perjalanan dilakukan pada malam hari pada jam 01.00 dari Dukuh Kalipagu Desa Ketenger yang merupakan jalur pendakian gunung Slamet yang cukup ekstrim dan membahayakan, dan sampai di pos peristirahatan pertama sekitar jam 02.45 wib istirahat sejenak menikmati dinginnya suhu disekitar gunung, kemudian perjalanan kami teruskan lagi sampai pada pos 2 sekitar jam 03.30 wib kami berenam beristirahat kami beristirahat cukup lama sampai dengan jam 06.30 wib, hingga sampai dilokasi yang dituju jarak tempuh cukup jauh memakan waktu kurang lebih 11 jam, dikarenakan fisik yang semakin menurun akibat medan yang cukup berat sehingga kami banyak berhenti untuk beristirahat. Kondisi yang sangat terjal untuk berjalan menuju punggungan yang satu dengan yang lainya membutuhkan waktu antara setengah sampai dengan satu jam keatas punggungan dengan kemiringan 60-70 derajat dan sangat luar biasa kondisi medan jalur selatan ini.
Sampailah kami pada tempat yang dituju sekitar pukul 12.00 wib, kami mengamati lokasi yang rencana akan dibangun, kami melihat dan mengamati lokasi dan ternyata sudah dimulai aktivitas awal proyek PLTP yang berada diketinggian 2500 mdpl. Kami melihat sudah mulai dengan penebangan kayu untuk pembukaan jalan berjarak 4 m, dan penebangan jalur-jalur lurus dengan jarak kurang lebih 50 m mengikuti kondisi lapang disana yang cukup banyak, entah untuk apa kami tidak mengetahui, adanya patok dan tanda pita merah dengan bertulisan kode-kode yang kami tidak mengetahui.
Setelah melihat letak dan kondisi yang ada, dari rencana pelaksanaan pembangunan PLTP, kami selaku warga yang berada persis dibawahnya lereng gunung Slamet sebelah Selatan merasa khawatir dengan adanya rencana pembangunan PLTP meskipun kami belum tahu persis proses pembangunan yang akan di kerjakan nantinya apakah berdampak kepada wilayah kami, karena apabila dilihat rencana pembangunan tersebut menurut kami persis berada diatas wilayah kami. Kami hanya khawatir bencana yang terjadi dikemudian hari, walaupun menurut orang-orang pintar katanya pembangkit tenaga panas bumi tidak membahayakan dan tidak menimbulkan polusi atau limbah. Kami tidak mengetahui teori orang-orang pintas disana, tapi kami sebagai orang desa sangat khawatir adanya perubahan bentuk alam yang pasti lambat laun akan memberikan dampak kepada kami.
Gunung Slamet merupakan sumber air untuk wilayah Kabupaten Banyumas karena sungai-sungai besar seperti Banjaran, Gumawang dan Logawa merupakan debit air terbesar di Banyumas yang semuanya bersumber dari lereng gunung Slamet sebelah selatan, selain sebagai sumber air, lereng Slamet sebelah selatan merupakan kawasan yang masih sangat hijau di bandingkan lereng sebelah timur ataupun sebelah utara dan masih asli.
Ancaman terhadap ekosistem secara langsung dilereng sebelah selatan dengan dibukanya atau dibangunya PLTP akan menggeser ekosistem yang ada salah satunya primata yang selama ini ada dan masih cukup terjaga. Menurut Buang (31) warga Kalipagu yang pernah melakukan pendataan primata bahwa dilokasi tersebut dihuni oleh 33 koloni dan 120 jenis burung, belum lagi jenis satwa lainya yang hidup di sekitar lokasi tersebut keberadaanya sangat terancam.
Anjloknya harga gabah hasil panen serta mahal dan langkanya pupuk serta obat-obatan adalah masalah rutin petani. Ini seolah sudah menjadi “takdir” yang digariskan bagi mereka yang terus berulang dan terjadi setiap tahun.
Namun tidak demikian dengan petani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Permata Sari di Desa Tirtosari, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang. Semua kepahitan itu hanyalah masa lalu belaka.
“Walau harga gabah dan beras di pasaran naik turun tidak menentu, gabah dan beras milik kami tetap laku terjual dengan harga tinggi, Rp 3.500 per kilogram dan Rp 6.000-Rp 7.500 per kg,” ujar salah seorang petani, Haryadi.
Gapoktan Permata Sari beranggotakan 72 petani sejak tahun 2004 menerapkan sistem pertanian semi-organik untuk secara perlahan melepaskan diri dari ketergantungan pupuk kimia. Luas tanam padi dengan sistem ini mencapai 50 hektar dan jenis padi yang ditanam adalah jenis mentik wangi susu, varietas lokal di desa tersebut.
Dengan sistem ini, mereka hanya memakai pupuk kimia jenis phonska, sebanyak dua kuintal per hektar. Umumnya petani membutuhkan 3-4 kuintal phonska per hektar. Pupuk lainnya adalah pupuk kandang, sebanyak 10 ton per hektar, serta Ferinsa (fermentasi urine sapi) sebagai pupuk hijau, sebanyak 1-1,5 liter per hektar.
Saat memakai pupuk kimia, biaya yang dikeluarkan petani hingga panen sekitar Rp 1 juta per hektar, dengan sistem pertanian semi-organik Rp 1,3 juta.
Di Banyumas, sekitar 100 petani di Desa Melung, Kecamatan Kedung Banteng, menerapkan sistem pertanian organik sejak 2009. Sukirno Hartoyo (38), Ketua Paguyuban Gerakan Rakyat Gunung (Pager Gunung) di Desa Melung, mengatakan, kebutuhan pupuk urea untuk pertanian telah digantikan pupuk organik dari kotoran ternak kambing dan ayam. Untuk pembasmi hama padi, petani menggunakan ramuan dedaunan dan urine kambing.
Sukirno mengatakan, ada 145 petani yang tergabung dalam Pager Gunung, tetapi belum semua menerapkan sistem pertanian organik. Untuk lahan sayuran, ada 30 petani yang menerapkan pertanian organik murni dengan total lahan seluas empat hektar, sedangkan untuk sawah ada lima orang dengan areal seluas satu setengah hektar. “Selebihnya masih separuh-separuh,” ujarnya.
Timbul (34), salah satunya. Dia baru menggunakan pupuk organik untuk memupuk tanaman di sawahnya seluas 700 meter persegi. Sisanya, seluas 2.100 meter persegi, masih menggunakan pupuk urea. Hal ini dia lakukan karena modalnya terbatas. Untuk memupuk 700 meter persegi lahannya dibutuhkan 1 kuintal pupuk organik seharga Rp 200.000. Biaya itu dua kali lipat lebih besar dibandingkan menggunakan pupuk urea dan TSP.
Tak seperti pertanian padi, pertanian sayuran malah lebih mudah menggunakan pupuk organik. Karinah (38), mengaku sejak enam bulan lalu memupuk lahan sayurnya seluas 350 meter persegi dengan pupuk organik, dia belum pernah lagi memupuknya. “Kalau pakai pupuk organik ini suburnya awet lama,” katanya.
Kepala Desa Melung Budi Satrio mengatakan, pihaknya sedang berusaha memperluas pengetahuan sistem pertanian organik kepada setiap petani di Desa Melung secara bertahap. “Dengan demikian, mereka pun dapat mandiri. Petani tidak lagi bergantung kepada pasar,” katanya. (Regina Rukmorini/Madina Nusrat)