Sekitar tahun 1990-an di wilayah Desa Melung banyak dijumpai tanaman kayu manis (Cinnamomum verum, sin. C. zeylanicum). Pada umumnya tanaman tersebut dibudidayakan sebagai tanaman sela. Tanaman ini memang cocok untuk dataran menengah dengan ketinggian 600 – 1500 m dpl dan suhu rata-rata 20-23 derajat Celcius.
Tanaman ini bagi warga dimanfaatkan sebagai tabungan dan penghasilan tambahan. Dengan memaksimalkan berbagai jenis tanaman lainnya, disamping tanaman pokok seperti jenis albasia atau sengon. Setiap 1 (satu) pohon dapat manghasilkan tidak lebih dari 8-10 kg kulit basah. Proses yang cukup lama dari mulai menanam hingga panen menyebabkan petani malas untuk menanam kembali. Apalagi dengan harga yang tidak sebanding dengan waktu perawatan. Sehingga lambat laun petani sekarang ini jarang menanam kembali jenis tanaman kayu manis.
Panen baru bisa dilakukan ketika pohon kayu manis anda 8 tahun. Warna daun dari tanaman kayu manis berwarna hijau tua pertanda pohon kayu manis siap untuk panen. Pemanenan kayu manis dilakukan dengan cara menebang.
Pada sekitar awal tahun 2000 dipanen dengan hasil yang tidak sebanding, dengan kulit kayu yang pada saat itu tergolong murah, sedangkan batang kayunya harganya lebih rendah lagi.
Padahal Kayu manis ialah sejenis pohon penghasil rempah-rempah. Termasuk ke dalam jenis rempah-rempah yang amat beraroma, manis, dan pedas. Orang biasa menggunakan rempah-rempah dalam makanan yang dibakar manis, anggur panas.
Kayu manis adalah salah satu bumbu makanan tertua yang digunakan manusia. Bumbu ini digunakan di Mesir Kuno sekitar 5000 tahun yang lalu. Kayu manis juga secara tradisional dijadikan sebagai suplemen untuk berbagai penyakit, dengan dicampur madu, misalnya untuk pengobatan penyakit radang sendi, kulit, jantung, dan perut kembung.
Saat ini ketahanan pangan nasional masih lemah khususnya di negara Indonesia. Bahkan banyak masyarakat yang belum mengerti ataupun memahami arti dari ketahanan pangan itu sendiri. Pengertian ketahanan pangan terdapat 2 macam, baik secara makro ataupun secara mikro adalah:
Mikro: kebutuhan dalam segala aspek pangan dalam tiap-tiap rumah tangga untuk menjalankan kehidupan yang sehat secara aktif tercukupi/terpenuhi.
Makro: Persediaan pangan/makanan yang terpenuhi dalam keseluruhan.
Namun ada pengertian lain mengenai ketahanan pangan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang dapat diartikan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Kondisi pangan dalam setiap rumah tangga yang terpenuhi dengan adanya pangan yang tercukupi serta aman untuk dikonsumsi, merata keseluruh rakyat dan terjangkau bagi setiap lapisan masyarakat secara menyeluruh. Meskipun pengertian ketahanan pangan beraneka macam tetapi inti dari setiap pengertian adalah tercukupi/terpenuhinya pangan. Semenetara arti dari ketahanan pangan Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Apakah terpenuhi ketahanan pangan di Desa ?
Tujuan ketahanan Nasional adalah Mewujudkan pemantapan ketahanan pangan masyarakat sampai tingkat perseorangan secara berkelanjutan.
Penguatan ketahanan pangan beras di tingkat nasional hingga daerah merupakan isu yang krusial bagi Indonesia. Beras merupakan komoditas strategis karena sekitar 25,4 juta penduduk Indonesia berprofesi sebagai petani dengan padi sebagai tanaman utama. Selain itu, beras merupakan kebutuhan pangan pokok bagi hampir seluruh penduduk Indonesia. Guncangan pada sisi penawaran dan harga beras tidak hanya akan mempengaruhi perekonomian nasional saja karena masalah tersebut dapat dilihat dari berbagai sudut pandang baik dari aspek sosial, politik, maupun budaya.
Kondisi Desa Melung dengan luasan wilayah administrasi desa seluas 1.383 Ha. Sedangkan lahan milik warga seluas 282,4 Ha, yang lebih banyak dimanfaatkan untuk perkebunan dan kehutanan serta pemukiman. Penggunakan lahan untuk kegiatan pertanian sawah hanya luas 57,6 Ha.
Dengan luasan lahan pertanian tersebut maka apabila hasil setiap panen padi rata-rata per Ha yang hanya mencapai 5,2 ton maka per panen dalam setahun menghasilkan padi sebesar 599,04 ton, kerena panen di Desa Melung hanya 2 kali dalam setahun dengan irigasi setengah teknik.
Lalu jumlah penduduk Desa Melung sekarang ini berjumlah 2216 jiwa dengan kebutuhan beras per hari rata-rata 0,5 kg maka per hari, beras dibutuhkan 1,11 ton per hari maka dalam setahun 404,42 ton.
Kebutuhan beras selama 1 tahun panen adalah 599,04 ton sehingga surplus beras 194,62 ton, Surplus ini pada kenyaataannya jika dihitung hanya mencukup untuk 175 hari atau 6 bulan pada tahun depannya. Sehingga sesungguhnya surplus tersebut belum aman dalam rangka ketahanan pangan. Belum lagi apabila terjadi gagal panen, musim dan faktor penyebab lainnya.
Apabila surplus tersebut dikonversikan ke dalam persen, maka akan menunjukkan surplus 48,12 % dengan menggunakan ukuran rasio (persentase), yaitu perbandingan antara jumlah surplus beras (dalam ton) selama setahun dengan jumlah konsumsi beras seluruh penduduk (dalam ton) pada tahun yang sama. Surplus beras 48,12% dihitung dari selisih antara jumlah total panen dalam setahun dengan jumlah konsumsi seluruh penduduk (dalam ton) selama satu tahun.
Dari kondisi ini maka perlu kita memikirkan bersama upaya untuk mendorong ketanahan pangan dengan menanam selain beras untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, sedangan untuk perluasan lahan pertanian sangat tindak memungkinkan mengingat topografi yang berbukit.
Kiranya sudah saaatnya kita bicara tentang kawasan untuk saling bekerja sama dalam bidang pertanian agar bisa saling mendukung dalam ketahanan pangan.
Indonesia pada tahun 1990, telah menandatangani sebuah Deklarasi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua (Education for All Declaration) pada konferensi UNESCO, di Thailand. Deklarasi ini menjadi komitmen bersama, untuk menyediakan pendidikan dasar yang bermutu dan non diskriminatif, di masing-masing negara. Realisasi deklarasi tersebut juga sekaligus merupakan upaya untuk memenuhi Hak Pendidikan (sesuai pasal 26 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia/DUHAM, bahwa “Setiap orang berhak memeproleh pendidikan. Pendidikan harus Cuma-Cuma, setidak-tidaknya untuk tingkat sekolah rendah dan pendidikan dasar.Pendidikan dasar diperlukan untuk menjaga perdamaian.”)
Pada tahun 2003, pemerintah mengeluarkan sebuah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menjamin hak atas “pendidikan dasar” bagi warga negara berusia tujuh hingga lima belas tahun. Namun, pendidikan untuk anak yang berusia dibawah tujuh tahun tidak dimasukkan sebagai pendidikan dasar.
Padahal, istilah pendidikan dasar seharusnya mulai berlaku mulai anak berusia 0-18 tahun. Hal ini sesuai dengan usia golden age atau keemasan anak, yaitu usia 0-9 tahun. Sedangkan menurut Konvensi Anak, yang
disebut anak yaitu yang berusia 0-18 tahun. Jadi seharusnya UU mengenai Sistem Pendidikan Nasional tersebut mengakomodir usia anak dari umur 0-18 tahun tersebut.
Salah satu pemenuhan hak pendidikan sejak dini pada usia 3-5 tahun yang kemudian dilakukan masyarakat dan pemerintah yaitu program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Didalam pelaksanaannya, setiap desa dan kelurahan yang ada di Indonesia didorong untuk memiliki minimal satu PAUD.
PAUD merupakan alternatif pemenuhan hak pendidikan selain Taman Kanak-Kanak (TK) atau Taman Pendidikan Alqur’an (TPA). Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2005, PAUD termasuk dalam jenis pendidikan Non Formal. Pendidikan Non Formal selain PAUD yaitu Tempat Penitipan Anak (TPA), Play Group dan PAUD Sejenis. PAUD sejenis artinya PAUD yang diselenggarakan bersama dengan program Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu untuk kesehatan ibu dan anak). Sedangkan pada Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), PAUD dimasukkan kedalam program Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Pada penyelenggaraan PAUD, jenis pendidikan ini tidak menggunakan kurikulum baku dari Depdiknas, melainkan menggunakan rencana pengajaran yang disebut Menu Besar. Menu Besar ini mencakup pendidikan moral dan nilai keagamaan, fisik/motorik, bahasa, sosial-emosional dan seni. Panduan dalam Menu Besar ini akan dikembangkan oleh tiap PAUD, berdasarkan kebutuhan dan kemampuan masing-masing PAUD. Selain tidak menggunakan kurikulum baku, PAUD juga ditujukan untuk kalangan ekonomi miskin. Karena biasanya PAUD tidak menarik iuran sekolah atau menarik iuran dengan jumlah yang sangat kecil. Hal ini untuk memenuhi hak pendidikan anak, mendapatkan pendidikan dasar secara cuma-cuma (Pasal 31 Konvensi Hak Anak). Namun di beberapa PAUD, setelah berjalan dengan tidak adanya penarikan biaya, dikarenakan biaya operasional biasanya merupakan sumbangan dari berbagai pihak di masyarakat, ternyata mengalami beberapa kendala. Misalnya sumbangan yang didapat hanya dapat memenuhi bahan belajar murid, namun hal lain seperti honor para pendidik tidak dapat terpenuhi. Padahal, para pengajar PAUD seringkali memerlukan uang transport untuk menjangkau PAUD yang dibina. Selain itu, para orangtua murid juga meminta adanya rekreasi bersama atau pemakaian baju seragam. Dan untuk kebutuhan seperti ini, PAUD seringkali tidak memiliki dana. Kemudian, beberapa PAUD akhirnya menarik iuran sekolah. Tentunya iuran ini tidak bisa besar jumlahnya, karena para murid PAUD berasal dari keluarga miskin. Rata-rata mereka mengeluarkan sekitar 1.000 perhari (dengan jam belajar hanya 2-3 kali seminggu).
Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional terutama Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah (PLS), sebetulnya sudah menyediakan dana untuk operasional PAUD. Namun dana yang ada ternyata tidak mencukupi kebutuhan operasional seluruh PAUD. Akhirnya dilakukan secara bergilir, pengguliran dana tersebut, dengan cara mengajukan proposal. Dari masalah pembiayaan yang terjadi di PAUD tersebut, apabila
berdasarkan DUHAM Pasal 26 tadi, maka akan terjadi kontradiksi. Pemenuhan hak pendidikan seharusnya gratis, namun kenyataannya belum bisa gratis. Bahwa untuk memenuhi hak pendidikan secara penuh, ternyata
masih diperlukan biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat. Sebetulnya, masalah seperti itu tidak harus terjadi jika pemerintah melakukan upaya-upaya pemenuhan hak pendidikan dengan maksimal. Pertama, pemerintah seharusnya memasukkan PAUD berusia dibawah 7 tahun sebagai suatu pendidikan dasar, yang harus dipenuhi pada warganegaranya, sehingga PAUD menjadi salah satu prioritas pemenuhan pendidikan dasar sesuai UU yang berlaku. Kedua, anggaran pendidikan tersendiri, tidak disatukan dengan anggaran kesehatan dan jumlahnya seharusnya terbesar dari pengeluaran negara lainnya didalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ketiga, dialokasikannya anggaran pendidikan yang terbesar jumlahnya dari pengeluaran daerah lainnya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Keempat, pengumpulan dana pajak atau retribusi dari perusahaan-perusahaan yang berada di wilayah PAUD, yang dilakukan
oleh pemerintah setempat misalnya tiap kelurahan atau desa, yang dipergunakan terutama untuk pembiayaan pendidikan dasar, baik PAUD, TK, TPA, SD, MI sampai tinkat SMP. Dan yang terakhir, pengumpulan dana swadaya masyarakat, baik dilakukan oleh LSM atau masyarakat sendiri, terutama di tujukan untuk pemenuhan pendidikan bagi warganya sendiri.
Dengan adanya kerjasama, peran serta dan kejujuran semua pihak, untuk mencerdaskan bangsa, terutama anak-anak, maka hak pendidikan tingkat dasar dapat dipenuhi secara maksimal. Kita pun dapat melihat anak-anak, dari keluarga manapun, terutama keluarga miskin, terpenuhi hak pendidikannya. Pada tingkat selanjutnya, pendidikan yang berkualitas kemudian dapat menjadi rencana bersama, setelah hak pendidikan tingkat dasar tersebut terpenuhi.
Dibalik perkembangan kehidupan yang kita lihat di Ibu Kota tidak bisa kita pungkiri bahwa ternyata masih kita lihat fenomena kehidupan masyarakat yang hidup di daerah pedesaan yang masih menggantungkan hidupnya pada alam sekitarnya. Dari sana kemudian muncul suatu permasalahan, salah satunya adalah fenomena-fenome eksploitasi pada alam karena kurangnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya melestarikan alam disamping menggunakannya sebagai penopang kehidupan. DIbeberapa tempat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan pihak yang ikut andil dalam melakukan pemberdayaan masyarakat, disamping ada banyak juga kesadaran masyarakat desa yang tumbuh akan pentingnya kelestarian alam karena pengaruh budayanya.
Berikut ini makalah penelitian dari Taufik Nurohman Staf Pengjar Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya.
Mendengarkan kisah tentang kekuatan olah kebathinan tentu sesuatu yang sangat mengesankan. Seperti malam ini (Selasa 24/11) saya bertamu ke orang yang dianggap paling sepuh di Grumbul Melung. Sebut saja namanya Mbah Martawijaya seorang kakek yang menurut pengakuannya sudah berumur sekitar 89 tahun. Walaupun secara umur sudah tua namun panca indranya masih berfungsi semua tidak ada yang kurang. Hal itu membuat komunikasi antara saya dengan beliau jadi lancar.
Mulanya Mbah Marta menceritakan peristiwa atau kejadian masuknya DI/TII, sebuah cerita yang hampir semua orang bisa menceritakannya. Terutama pada bagian bagaimana perilaku anggota DI/TII yang sangat menyeramkan dan menakutkan bagi sebagian masyarakat seperti Desa Melung Kecamatan Kedungbanteng. Tapi bukan bagian itu sebenarnya yang menarik perhatian saya.
Saya lebih tertarik mendengar adanya sebuah aturan yang tidak tertulis akan tetapi hampir semua orang melaksankan dan menaati aturan tersebut. Padahal kalau mendengar cerita Mbah Marta bahwa dalam aturan tersebut juga tidak dijelaskan sanksi-sanksi atas pelanggaran aturan tersebut. Adapun sanksi atau ancaman dalam aturan tersebut hanya berupa kata-kata “Ora ilok”. Menurut Mbah Marta asal sudah mendengar kata “Ora Ilok” tentu semua paham bahwa memang hal itu tidak boleh dilakukan.
Seperti misalnya pada saat akan mematikan Sentir (lampu penerangan pada malam hari) tidak diperbolehkan dengan cara meniupnya, cukup dipegang dengan dua jari. Spontan saya bertanya apa tidak panas Mbah? Tapi justru bukan senang dengan pertanyaan saya Mbah Marta malah jadi terlihat agak enggan untuk bercerita. Mbah Marta malah sibuk dengan lintingannya (rokok buatan sendiri dengan cara di linthing). Padahal rokok yang tadi dibuatnya juga belum habis masih mengepul di asbak yang terbuat dari potongan bambu.
Dengan rasa bersalah akhirnya saya minta maaf atas pemotongan cerita oleh Mbah Marta, akhirnya Mbah Marta kembali mau bercerita. Pada dasarnya semua mahluk ciptaan Gusti Allah itu semuanya memiliki jiwa, yang tentu saja harus diperlakukan sebagaimana orang yang memiliki jiwa. Sedangkan tiupan angin saat kita meniup “Sentir merupakan simbol dari kehidupan manusia. Artinya bahwa janganlah kita menyia-nyiakan kehidupan kita hanya untuk mematikan sesuatu yang telah memberikan kita penerangan pada saat gelap.
Makanya kita pun sebenarnya tidak diperbolehkan untuk ngempos (mengeluarkan udara dari dalam mulut dengan agak berat). Terutama pada saat kita sedang menghadapi sebuah cobaan hidup, seberat apapun kita jangan mengeluh karena mengeluh hanya akan menambah beban semakin berat.
Pada umumnya orang-orang dahulu itu ketika mengucapkan kata-kata yang sebenarnya kalau dipikir pada waktu itu sangatlah mustahil, tapi suatu ketika ucapan tersebut terbukti kebenarannya. Menurut Mbah Marta bahwa apa yang diucapkan itu bukan asal bicara, biasanya mereka sebelumnya memang sudah diberi semacam petunjuk. Akan tetapi tidak semua orang diberi petunjuk, hanya orang-orang tertentu saja yang dapat membaca tand-tanda alam.
Tanda-tanda alam hanya bisa dipelajari dengan laku prihatin dengan cara mendekatkan diri ke Yang Maha Kuasa. Laku prihatin bisa dilakukan dengan cara ngasrep, berpuasa dan pada prinsipnya bahwa sesuatu bisa masuk itu apabila wadah yang kita miliki itu ada ruang kosong. Jauh dari sifat serakah, iri, dengki dan tamak itu juga merupakan syarat yang tidak terpisahkan.
Kedekatan dengan alam bukan saja berarti harus berada di suatu daerah pinggiran dekat dengan hutan, tetapi bagaimana kita menghormati alam, menjaga dan merawatnya. Makanya tidaklah heran jika akan melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan alam ada istilah “nembung” atau permisi. Itu merupakan bagian dari menghargai alam disamping memasang sesaji sebagai bentuk penghormatan kepada alam. Sayangnya hal itu sering dimaknai sebagi sesuatu yang musrik. Padahal kalau kita mau jujur, bahwa musrik dan tidaknya itu tergantung kepada niat hati kita. Karena sesebenarnya kita juga percaya bahwa adanya Gusti Allah, dan hanya kepadaNya kita memohon petunjuk dan pertolongan.