Selama tiga hari terakhir, 25-27 Januari 2012, warga Desa Melung tak bisa tidur nyenyak. Siap saat mereka harus siaga untuk menyelamatkan diri saat angin kencang melanda desa. Meski pada sore hari langit cerah, malam harinya warga bisa bertumpah ruah di jalan-jalan karena angin kencang tiba-tiba datang.
Hal itu dikatakan oleh Kepala Desa Melung, A Budi Satrio. Pada Kamis (26/1/2012) sore langit di atas Desa Melung sangat cerah. Meski rumahnya tak beratap lengkap, pria separuh baya ini bisa tersenyum lebar.
“Seperti berada di Planetarium. Kita bisa tidur di ruang tamu sambil menatap bintang-bintang. Indah sekali,” kisahnya.
Situasi berubah pada Jumat dinihari pukul 02.00 hujan turun. Semua warga bangun untuk menyelamatkan barang-barang berharganya, terutama alat elektronik. Mereka harus basah kuyup karena sebagian besar atap rumahnya rusak diterjang angin.
Bagi Budi Satrio, bencana yang menimpa desanya menjadi bahan pelajaran yang sangat berharga. Warga bisa belajar tentang pengetahuan penanganan bencana. Dia juga bahagia karena pada saat bencana semangat kebersamaan warga justru makin menguat.
“Ini laboratorium bagi kami untuk belajar tentang penanganan kebencanaan. Kita harus melihat seluruh hambatan dan kendala penanganan bencana menjadi tantangan yang penting untuk dicari jalan keluarnya,” tambahnya.
Warga Desa Melung berharap PLN bisa cepat menangani masalah layanan listrik. Tanpa listrik, semua orang harus bekerja ekstra keras, baik dalam siaga keamanan maupun penanganan korban bila sewaktu-waktu angin kencang datang
Sumber :https://higoss.wordpress.com/2012/01/28/kabar-dari-melung/
(Melung 28 Januari 2012), bertempat di Kantor Balai Desa Melung tengah diadakan workshop scm “sms center melung” fitur baru dalam sid(sistem informasi desa). fasilitator yossy suparyo dan pri anton subardio dari BlankOn Banyumas dan pewarta higoss yang diikuti oleh kades melung, kades kutaliman, dan kades beji beserta perangkat pemdes melung. untuk menanggapi kesulitan penyaluran informasi waspada bencana angin ribut yang terjadi di desa melung.
perangkat – perangkat desa yang hadir dan mencoba teknologi scm “sms center melung” dalam workshop mengikuti dengan penerapan langsung. menurut margino, sekdes pemdes melung, dengan scm diharapkan penginformasian terhadap warga cepat tersampaikan.
“wahh, apik kiehh dengan teknologi scm ini saya dengan mudah dan cepat dapat memberikan dan menerima informasi terkini warga desa melung melalui sms,” ujarnya.
pemdes melung bersama tagana(taruna siaga bencana) desa melung sebelumnya sudah mewaspadai akan bencana ini dengan membuat posko bencana angin ribut. warga desa melung sangat terbantu dengan adanya posko tersebut dengan ditambahnya scm ini benar membantu warga dalam penginformasian.
hal itu disampaikan juga oleh budi satrio, kades desa melung. dengan ditambahkannya fitur baru yang sudah siap berjalan ini akan sangat membantu dalam informasi warga mewaspadai bencana angin ribut.
“dengan scm ini dengan mudah saya dapat memonitoring keadaan warga desa dan desa melalui sms dan menghubungkannya dengan posko bencana agar terjadi kesinambungan informasi dan penanganan,” ujarnya.
usaha posko bencana angin ribut dan scm teknologi penyampaian cepat informasi dengan sms ini diharapkan dapat saling berkesinambungan sehingga informasi dan penanganan ke warga akan lebih mudah dan warga lebih siaga dalam menanggapi bencana angin ribut.
Sumber : https://higoss.wordpress.com/2012/01/29/scm-dan-posko-waspadai-bencana-angin-ribut-melung/
Anjloknya harga gabah hasil panen serta mahal dan langkanya pupuk serta obat-obatan adalah masalah rutin petani. Ini seolah sudah menjadi “takdir” yang digariskan bagi mereka yang terus berulang dan terjadi setiap tahun.
Namun tidak demikian dengan petani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Permata Sari di Desa Tirtosari, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang. Semua kepahitan itu hanyalah masa lalu belaka.
“Walau harga gabah dan beras di pasaran naik turun tidak menentu, gabah dan beras milik kami tetap laku terjual dengan harga tinggi, Rp 3.500 per kilogram dan Rp 6.000-Rp 7.500 per kg,” ujar salah seorang petani, Haryadi.
Gapoktan Permata Sari beranggotakan 72 petani sejak tahun 2004 menerapkan sistem pertanian semi-organik untuk secara perlahan melepaskan diri dari ketergantungan pupuk kimia. Luas tanam padi dengan sistem ini mencapai 50 hektar dan jenis padi yang ditanam adalah jenis mentik wangi susu, varietas lokal di desa tersebut.
Dengan sistem ini, mereka hanya memakai pupuk kimia jenis phonska, sebanyak dua kuintal per hektar. Umumnya petani membutuhkan 3-4 kuintal phonska per hektar. Pupuk lainnya adalah pupuk kandang, sebanyak 10 ton per hektar, serta Ferinsa (fermentasi urine sapi) sebagai pupuk hijau, sebanyak 1-1,5 liter per hektar.
Saat memakai pupuk kimia, biaya yang dikeluarkan petani hingga panen sekitar Rp 1 juta per hektar, dengan sistem pertanian semi-organik Rp 1,3 juta.
Di Banyumas, sekitar 100 petani di Desa Melung, Kecamatan Kedung Banteng, menerapkan sistem pertanian organik sejak 2009. Sukirno Hartoyo (38), Ketua Paguyuban Gerakan Rakyat Gunung (Pager Gunung) di Desa Melung, mengatakan, kebutuhan pupuk urea untuk pertanian telah digantikan pupuk organik dari kotoran ternak kambing dan ayam. Untuk pembasmi hama padi, petani menggunakan ramuan dedaunan dan urine kambing.
Sukirno mengatakan, ada 145 petani yang tergabung dalam Pager Gunung, tetapi belum semua menerapkan sistem pertanian organik. Untuk lahan sayuran, ada 30 petani yang menerapkan pertanian organik murni dengan total lahan seluas empat hektar, sedangkan untuk sawah ada lima orang dengan areal seluas satu setengah hektar. “Selebihnya masih separuh-separuh,” ujarnya.
Timbul (34), salah satunya. Dia baru menggunakan pupuk organik untuk memupuk tanaman di sawahnya seluas 700 meter persegi. Sisanya, seluas 2.100 meter persegi, masih menggunakan pupuk urea. Hal ini dia lakukan karena modalnya terbatas. Untuk memupuk 700 meter persegi lahannya dibutuhkan 1 kuintal pupuk organik seharga Rp 200.000. Biaya itu dua kali lipat lebih besar dibandingkan menggunakan pupuk urea dan TSP.
Tak seperti pertanian padi, pertanian sayuran malah lebih mudah menggunakan pupuk organik. Karinah (38), mengaku sejak enam bulan lalu memupuk lahan sayurnya seluas 350 meter persegi dengan pupuk organik, dia belum pernah lagi memupuknya. “Kalau pakai pupuk organik ini suburnya awet lama,” katanya.
Kepala Desa Melung Budi Satrio mengatakan, pihaknya sedang berusaha memperluas pengetahuan sistem pertanian organik kepada setiap petani di Desa Melung secara bertahap. “Dengan demikian, mereka pun dapat mandiri. Petani tidak lagi bergantung kepada pasar,” katanya. (Regina Rukmorini/Madina Nusrat)
:Selasa, 12 Juni 2007 – 16:20 | Kategori: Hukum-kriminal
Merdeka.com – Kepala Desa Melung, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas, .
“Memang desa ini sering digunakan untuk latihan oleh Brimob, pecinta alam dan aktivitas lainnya, tetapi saya tidak pernah mengetahui atau melihat adanya kegiatan yang mencurigakan di sekitar sini,” kata Kades Melung, Budi Satrio, di esa Melung Banyumas, Selasa. Menurut dia, hanya satuan Brimob yang selalu mengajukan izin atau pemberitahuan, apabila hendak latihan di Desa Melung. “Untuk kelompok atau organisasi lain, jarang mengajukan surat izin,” kata dia. “Selain itu tidak ada keluhan atau laporan dari masyarakat tentang adanya kegiatan yang mencurigakan sehingga desa ini dapat dikatakan masih aman,” katanya.
Dia mengakui sebagian wilayah di desanya berupa hutan, baik hutan rakyat maupun hutan yang dikelola Perhutani. “Seperti hutan di Gunung Agaran dan Gunung Botak merupakan hutan rakyat, sedangkan yang biasa digunakan untuk latihan adalah hutan Perhutani di Gunung Cendana,” kata dia. Ia mengatakan, jalan untuk menuju Gunung Cendana biasanya melalui Grumbul Kalipagu di Desa Ketenger, Kecamatan Baturaden Banyumas. (*/cax)
MEMASUKI bulan sura ini, kepercayaan sebagian masyarakat Jawa tak lekang dengan prosesi ruwatan bumi. Hampir setiap desa atau kelompok masyarakat tertentu menggelar ritual tahunan dengan berbagai ragam acara.
Mereka menumpahkan syukur dengan tradisi kedaerahan masing-masing. Itu semua dilakukan sebagai wujud syukur kepada Sang Pencipta atas nikmat karunia dalam penghidupan di bumi setahun terakhir ini.
Upaya pelestarian tradisi itu, salah satunya dilakukan oleh masyarakat desa pinggiran hutan, Desa Melung, Kecamatan Kedungbanteng. Pagi itu, pukul 08:00 tak biasanya semua warga tumpah ruah keluar rumah. Mulai dari anak-anak hingga orang tua lanjut usia menyatu dengan kabut tebal dan udara dingin pegunungan lereng Gunung Slamet ini.
Di desa berpenduduk sekitar 2.079 jiwa tersebut, semua warga dan sesepuh desa berkumpul bersama untuk melakukan pesta rakyat. Setiap gerumbul (RW) menyiapkan berbagai atraksi kesenian yang dimiliki.
Dalam pesta utama yang digelar di lapangan desa kompleks balai desa, panitia menyiapkan acara inti arak-arakan. Dalam arak-arakan tersebut turut dibawa berbagai jenis sajian berupa aneka hasil bumi dan semua simbol penghidupan.
Semua jenis hasil bumi mulai dari sektor seperti padi, jagung, kacang, ketela, pisang dibawa. Anehnya simbol hasil bumi itu disajikan secara utuh. Misalnya padi, diambil mulai dari akar sampai untaian butirannya, umbi sampai pohon dan pisang bersama ponggolnya.
Hasil hutan, berbagai jenis pohon juga diambil. Kalau pohonnya besar cukuplah diambil dahan atau rantingnya. Termasuk juga rumput. Simbol air diambil dari tujuh sumber air yang berada di sekitar desa. Air itu dimasukkan dalam bambu yang dibentuk seperti bumbung. Semua alat pertanian seperti cangkul, garu, lading, dan mainan panggal turut dibawa. Yang punya ternak juga ikut dibawa, seperti kambing dan ayam.
”Semua penghidupan yang berhubungan dengan warga sini ikut diarak. Itu dilakukan sebagai bentuk menyatunya warga dengan alam,” kata Muhammad Faturrohman, selaku Sekretaris Desa Melung.
Arak-arakan dimulai dari masing-masing gerumbul. Setiap gerumbul menyiapkan sesaji. Saat mereka bergerak menuju pusat desa, setiap rombongan berpenampilan lengkap dengan dandanan Jawa. Mereka juga diiringi dengan berbagai musik tradisional seperti kenthongan dan aneka mainan lain.
Sejumlah lelaki kekar yang bertugas membawa sesaji diarak di bagian depan. Di belakangannya beriringan warga masing-masing gerumbul. Dalam arak-arak tersebut turut dibawa aneka makanan tumpengan, mulai yang besar sampai yang kecil-kecil. Semua tumpeng dan hasil bumi yang dibawa warga dikumpulkan dalam gelaran bersama di lapangan.
”Kita berdoa bersama sebagai wujud selamatan. Setelah itu, kita makan bersama-sama,” ujar Sungging Septisianto, salah seorang sesepuh desa.
Puncak prosesi dilakukan dengan menggelar wayang kulit, siang harinya. Ruwatan dipandu oleh ki Dalang Nalim Sumardi, yang meruwat desa tersebut. Setelah itu dilanjutkan rebutan aneka sesaji yang dibawa warga. Aneka makanan itu diperebutkan karena dipercaya mengandung berkah. Persiapan acara utama dilakukan sejak tiga hari sebelumnya. Untuk membahasnya dilakukan jauh hari sebelumnya lewat rembuk desa.(Agus Wahyudi-55s)