Penggarap sawah sedang membersihkan rumput yang berada di irigasi watugayong
Pada hari Sabtu, tanggal 17 Nopember 2018 para petani atau pemanfaat air dari irigasi Watugayong Desa Melung melakukan kerjabakti di sepanjang irigasi watugayong tersebut. Para petani atau pemanfaat irigasi tersebut berpendapat bahwa sungai merupakan harta karun masyarakat yang harus dijaga keberlangsungannya. Beragam manfaat yang sungguh teramat sangat banyak bisa kita petik darinya. Mulai dari kebutuhan rumah tangga, pertanian, peternakan, industri, pariwisata, dan lain sebagainya.
Pertanian, khususnya padi sawah keberhasilannya sangatlah dipengaruhi oleh air sungai, begitu juga untuk perikanan.
Para petani dan pemuda Angres (Angkatan Remaja Salarendeng)
Istirahat sejenak sambil berbagi cerita antar penggarap sawah ataupun pemanfaat air irigasi watugayong
Ceritanya pagi ini Sabtu (10/10) empat orang dari SMA 1 Patikraja sedang menjalankan tugas sekolah. Demi sebuah tugas mereka rela menempuh jarak puluhan kilometer, dari Patikraja ke Desa Melug Kecamatan Kedungbanteng.
Adalah Firman, Bakhits, Mora dan Salsa, yang merupakan siswa dari SMA 1 Patikraja. Kedatangan empat siswa ke Desa Melung adalah dalam rangka berdiskusi dengan petani tentang budidaya tanaman pangan.
Walaupun temanya adalah diskusi tentang tanaman pangan tapi dalam diskusi lebih fokus ke tanaman selada air. Mulai dari pembenihan, penanaman, perawatan, pemanenan dan juga pemasaran.
Sebagai seorang petani, Karinah menjelaskan secara rinci dari mulai pembenihan sampai dengan pemasarannya.
Hasil diskusi tersebut dicatat dan didokumentasikan. Nantinya akan dipresentasikan disekolah.
Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. ==> Pramudya
Pagi ini saya membereskan arsip-arsip desa, merapihkan dan mencoba mengurutkan arsip-arsip desa berdasarkan tahun. Tumpukan kertas yang terbungkus dalam stopmap berjejer dalam ruang arsip desa. Tanpa sengaja saya melihat sebuah buku yang pada pojokannya sudah robek-robek. Buku dengan judul “Register Keputusan Desa” buku yang mencatat proses kegiatan pada tahun 1972.
Buku tersebut merupakan buku catatan tentang proses musyawarah, seperti notulensi rapat. Yang menarik dari buku tersebut adalah tulisan, rangkaian kata serta ejaanya. Tulisan terlihat rapi yang semuanya miring kesebelah kanan dengantulisan (saya menyebutnya) latin. Masih menggunakan ejaan lama seperti ketika menulis kata dulu disitu tertulis doeloe.
Salah satu catatan yang sempat saya baca adalah tentang proses musyawarah dalam pembuatan jembatan Kali Manggis yang dibangun pada tahun 1972. Dimana dalam catatan masyarakat memandang perlu untuk segera membuat jembatan penghubung antar dua grumbul. Jembatan yang dibangun dengan biaya kurang lebih 458.178 (empat ratus lima puluh delapan ribu seratus tujuh puluh delapan rupiah.
Menulis adalah suatu proses perekaman sejarah, begitulah kiranya yang sampai hari ini saya asumsikan. Bagaimana tidak merekam sejarah? Ketika kita menulis maka secara tidak langsung terjadilah proses perekaman dari apa yang kita lihat, apa yang kita rasakan, dan apa yang kita dengar, semua terekam dalam bentuk catatan. Itulah sebabnya saya katakan menulis adalah merekam sejarah.
Lantas kemudian pertanyaan yang menghantui batok kepala kita, jika kita sampai hari ini tidak menulis, siapa yang akan merekam sejarah kita?
Siswa SMA BHK sedang bersama keluarga Bp. Sayin di sawah
Melung 21 September 2018, Desa Melung terpilih kembali sebagai tempat anak untuk belajar. Kali ini yang berkesempatan belajar di Desa Melung adalah dari SMA Bunda Hati Kudus Jakarta Barat. Sebanyak 112 orang siswa mengadakan live-in di Desa Melung.
Live in adalah kegiatan pengembangan kepedulian pribadi terhadap diri sendiri dan orang lain. Para siswa akan diminta tinggal bersama dengan masyarakat desa. Selama beberapa hari untuk belajar dan mengalami kehidupan masyarakat desa secara langsung.
Melalui kegiatan ini, nantinya para siswa akan belajar kehidupan di desa, dengan mengikuti kegiatan induk semang. Disamping juga bersosialisasi dengan masyarakat sekitar tempat tinggal. Adaptasi dengan lingkungan tentu menjadi tantangan bagi peserta live-in. Bahasa, tempat tinggal, budaya dan juga makanan tentu menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi peserta live-in.
Membantu menjemur kapulaga (rempah-rempah) di rumah bpk. Sayin 5/3)
Asiknya di sawah
Mengikuti kegiatan induk semang dalam melakukan aktifitas sehari-hari adalah hal baru. Seperti yang dialami oleh Juan dan Deni yang kebetulan tinggal dirumah Pak Sayin pada hari kedua mereka ikut menjemur kapolaga, pergi kesawah. Untuk pergi kesawah mereka harus jalan kurang lebih 1 km, dengan jalan naik turun. Tentu akan terasa berat bagi anak kota yang sedang mencoba kehidupan di desa.