Gedung kantor desa yang sudah terlanjur dibongkar karena sudah hampir roboh selama berbulan-bulan sempat terbengkelai. Kini melalui dana bantuan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas, pembangunan rehab Kantor Desa Melung mulai dilaksanakan. Bantuan senilai seratus juta tersebut langsung dimanfaatkan untuk menyelesaikan pembangunan kantor desa.
Pembangunan rehab kantor desa tersebut diperkirakan akan selesai dalam waktu 2 (dua) bulan. Akan tetapi karena dilaksanakan pada musim penghujan mungkin akan memakan waktu lebih dari waktu yang diperkirakan. Seperti dituturkan Agus Triono selaku ketua panitia pembanguna rehab kantor desa.
Dalam pelaksanaanya Agus Triono lebih memfokuskan untuk secepat mungkin menyelesaikan bagian atap gedung. Sehingga nantinya jika hujan turun masih bisa mengerjakan pekerjaan tanpa terkendala turunnya hujan.
Musim kemarau tahun ini telah berakhir, dan berganti dengan musim penghujan. Kegembiraan nampak diwajah para petani, karena dengan turunnya hujan berarti mereka akan bisa mengolah lahan pertaniannya (sawah) sebagai salah penopang kehidupan. Cerita Ibu-ibu dipagi hari yang ribut karena air yang tidak mengalir, kini tak lagi terdengar. Saluran airpun kini telah penuh dengan air yang melimpah, tidak ada lagi percekcokan dan perebutan air.
Namun dibalik melimpahnya air karena memasuki musim penghujan, masyarakat juga harus waspada akan adanya bahaya tanah longsor. Seperti di wilayah Depok dan sebagian Kaliputra Desa Melung merupakan daerah rawan tanah longsor. Apalagi setelah kemarau yang cukup lama, kemudian turun hujan hal ini sangat memungkinkan adanya pergerakan tanah (longsor).
Indikasi adanya pergerakan tanah longsor sudah mulai terlihat dari beberapa bangunan (rumah) penduduk yang mulai retak-retak pada bagian dindingnya. Disamping pada dinding, retakan juga terlihat dengan jelas pada lantai rumah.
Dari informasi yang disampaikan oleh Natim (Kadus I) Desa Melung, 4 (empat) rumah yang dinding dan lantai rumahnya mulai terlihat retak adalah : Sutarto dan Tarsudi yang beralamat di RT 02/02 Kaliputra, Sukarti RT 03/01, dan rumah Wasim Achmad Saheri RT 02/01 Depok. “Dari keempat rumah tersebut pada umumnya masih bisa dihuni akan tetapi perlu waspada karena sewaktu-waktu bisa saja terjadi adanya tanah longsor yang lebih kuat” seperti dituturkan oleh Natim.
Jika anda mencoba untuk mencari Desa Melung di mesin pencari Google, anda akan mendapati ragam julukan Desa Melung yang sebagian besar berkaitan dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). “Desa Internet”, “Desa Melek IT”, dan “Desa TIK” merupakan beberapa di antaranya. Anda pun akan mendapatkan berbagai macam liputan dari media massa arus utama yang mayoritas sudut pandang beritanya menitikberatkan pada aspek teknologi. Tengok situs berbagi video YouTube dan masukkan kata kunci “Melung”, di sana anda akan diantarkan pada daftar video yang menampilkan profil Desa Melung sebagai desa yang jauh dari perkotaan, namun penduduknya sudah memiliki kesadaran akan pentingnya pemanfaatan teknologi, khususnya TIK dalam pembangunan desa. Video profil dengan judul “Melung, Kisah Sebuah Desa Internet” adalah salah satunya. Beberapa media massa arus utama pun seakan berlomba untuk memberitakan kisah Desa Melung yang termasuk maju dalam pengelolaan TIK jika dibandingkan dengan desa-desa lainnya. Tercatat Metro TV, SCTV, dan TEMPO TV pernah membuat liputan tentang Desa Melung dari perspektif ini. Beragam testimoni di dunia maya dari orang-orang yang pernah berkunjung ke Desa Melung juga menyatakan apresiasi yang positif atas prestasi warga Desa Melung di bidang TIK. Hal ini dibuktikan melalui penghargaan yang diberikan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) dengan ditetapkannya Desa Melung sebagai Community Access Point dalam sebuah seremonial Festival DesTIKa tahun 2013 yang bertempat di Balai Desa Melung, Kab. Banyumas.
Namun jika anda berkunjung ke Desa Melung dari arah Utara/Timur yang berbatasan dengan Desa Ketenger, jangan heran jika anda disambut di perbatasan masuk ke desa ini dengan spanduk berwarna putih yang bertuliskan “Selamat Datang di Desa Melung Agrowisata dan Ekowisata”. Bahkan jika anda masuk ke Desa Melung dari arah selatan yang melewati Desa Kutaliman pun, anda tidak akan berjumpa dengan tulisan-tulisan semacam Agrowisata ataupun Internet. Jadi manakah identitas Melung yang sesungguhnya? Apakah identitas sebagai “Desa Agrowisata” seperti yang dapat kita temui di dunia fisik ataukah identitas sebagai “Desa Internet” atau “Desa TIK” seperti yang akan kita jumpai di dunia maya? Mana yang real dan mana yang virtual? Jika begitu, apa jati diri Desa Melung yang sebenarnya?
Apabila kita berbincang mengenai “diri” ada baiknya kita meminjam konsep tentang “diri” dari sudut pandang sosio-psikologis seperti yang pernah dituturkan oleh George Herbert Mead. Menurut Mead yang terkenal dengan bukunya Mind, Self, and Society (1934) dan dianggap sebagai pionir tradisi interaksionisme simbolik, “diri” manusia dapat dibagi menjadi dua: sebagai subjek (I-self) dan sebagai objek (me-self). Konsep memandang diri sebagai subjek adalah bagaimana kita berpikir tentang diri kita sendiri, sedangkan diri sebagai objek merupakan refleksi bagaimana kita dipandang oleh orang lain.
Melalui konsep diri ini, kita bisa melihat bahwa Desa Melung sepertinya menginginkan “diri”-nya memiliki identitas sebagai Desa Agrowisata. Hal ini dapat terlihat selain dari spanduk putih di gerbang masuk ke desa yang menyatakan diri seperti itu, juga dari halaman muka website Desa Melung <melung.desa.id> di mana terdapat banner sayuran organik di sisi sebelah kanan. Sebagai sebuah subjek, identitas inilah yang ingin ditampilkan oleh Desa Melung baik di dunia fisik maupun dunia virtual. Namun, sebagai sebuah objek, faktanya berbicara lain. Tampaknya publik tidak membaca identitas Desa Melung sebagai desa dengan ciri khas produksi sayuran organiknya. Keberhasilan Desa Melung di bidang pemanfaatan TIK menjadi objek yang sangat laku untuk dikonsumsi (baca: dijual). Baik itu orang perorang maupun sebagai institusi, mulai dari media massa arus utama sampai dengan Kemkominfo, mereka mengenal Melung sebagai Desa Internet yang melek IT. Identitas itulah yang disematkan kepada desa ini dari sudut pandang objek.
Penyematan ini tampaknya memengaruhi konsep diri desa ini. Status baru sebagai “Desa Internet” dari sudut pandang objek tampaknya beresonansi dalam diri Desa Melung sehingga “dipaksa” untuk mereformulasi identitasnya, karena publik menghendaki hal itu. Agaknya, kita bisa membaca ada konflik identitas di sini. Desa Agrowisata vs Desa Internet.
Namun begitu, kita dan juga warga Desa Melung sejatinya tidak perlu juga memaksakan diri menilai mana identitas yang seharusnya dan mana identitas yang ada sekarang. Dalam konsep diri yang dikembangkan oleh Mead, “diri” adalah “seperangkat identitas-identitas” yang sangat dipengaruhi oleh situasi. Oleh karena itu, “diri” dipandang sebagai identitas dalam artian jamak. Itu artinya, Desa Melung (dan juga manusia pada umumnya) dapat memiliki banyak identitas dalam waktu yang simultan/bersamaan. Baik sebagai Desa Agrowisata, Ekowisata dan juga sebagai Desa Internet. Aspek situasi yang akan menentukan identitas mana yang sebaiknya nanti dimunculkan. Sekarang, tugas Desa Melung bukanlah menyelesaikan konflik identitas, karena konflik itu bisa jadi tidak ada, tetapi menyelaraskan ragam identitas yang dimiliki Desa Melung sesuai dengan visi desa, karena desa ini sesungguhnya memiliki multi-identitas.
Melung, 5 November 2014
Dengan diiringi alunan suara gemericik air alam…
Subekti W. Priyadharma
Dosen Manajemen Komunikasi, FIKOM UNPAD, sedang menempuh Program Doktoral di University of Erfurt, Jerman
Melung 14 Oktober 2014, Ada berbagai macam cara untuk menentukan seorang pemimpin, baik melalui pemilihan langsung maupun secara tidak langsung. Pemilihan tidak langsung artinya bisa diwakilkan kepada yang diberi kuasa atau mandat untuk memilih. Sudah barang tentu yang diberi kuasa atau mandat untuk memilih akan memilih sesuai dengan keinginan yang ada dihatinya. Dan memilih secara langsung, artinya masyarakat atau pemilih bisa memilih sesuai dengan kehendaknya. Begitu pun yang dilakukan masyarakat Grumbul Salarendeng, Desa Melung yang telah mengadakan pemilihan langsung untuk Ketua RW dan pengurus RW.
Pemilihan Ketua RW yang dilakukan pada Selasa malam (14/10) diikuti oleh 97 pemilih dari 100 pemilih. Pada pemilihan Ketua RW ada aturan yang telah disepakati bersama bahwa untuk pemilih adalah dari masing-masing Kepala Keluarga (KK). Jika yang bersangkutan (KK) sedang bekerja diluar daerah dan tidak bisa pulang maka hak pilihnya diserahkan kepada anggota kelauarga, bisa istri maupun anaknya. Adapun teknis pelaksanaanya adalah masing-masing KK diberi semacam kertas suara dimana di kertas suara tersebut tercantum nama-nama calon Ketua RW tanpa adanya gambar calon Ketua RW.
Memasukan surat suara
Sehabis Shalat Isya masyarakat berkumpul kemudian panitia menyiapkan semacam tong untuk tempat (kotak) suara, karena sebelumnya panitia sudah membagikan kertas suara yang dibungkus dengan amplop. Kemudian amplop yang berisi surat suara itu dimasukan kotak, mirip orang kondangan pada acara hajatan. Sementara para kandidat Ketua RW duduk didepan (bukan dipanggung) hanya hamparan tikar dan karpet yang didepannya berisikan kotak suara. Setelah menyerahkan atau memasukan surat suara kemudian masyarakat duduk melingkar sambil menunggu acara penghitungan.
Adapun kandidat untuk calon-calon ketua RW adalah perwakilan dari rukun tetangga (RT) yang ada diwilayah RW IV Salarendeng. Suryadi dipercaya sebagai kandidat dari RT 01 kemudian Sudarno merupakan kandidat dari RT 02 serta Danang Sukio mewakili RT 03.
Sebelum dilakukan penghitungan surat suara yang masuk dihitung terlebih dahulu, dari 100 surat suara yang dibagikan sampai dengan penutupan pemilihan terdapat 97 surat suara. Setelah dilakukan penghitungan surat suara Danang Sukio terpilih menjadi Ketua RW dengan perolehan suara sebanyak 74 suara. Sementara Sudarno mendapat 17 suara dan Suryadi memperoleh 6 suara.
Sebagai kandidat terpilih Danang Sukio langsung diminta untuk memberikan sambutan dihadapan masyarakat RW 04 Salarendeng. “Saya sungguh tidak habis pikir orang seperti saya dijadikan Ketua RW, yang kalau boleh jujur bahwa Ketua RW merupakan simbol seorang yang dituakan dalam lingkungan Grumbul apa ini tidak salah, karena saya masih bodoh. Akan tetapi karena ini merupakan pilihan dari masyarakat maka amanah ini akan saya jalani semampu saya. Saya juga mohon do`a restu dari masyarakat agar saya dapat melaksankan tugas yang dibebankan kepada diri saya semoga bisa berjalan sesuai dengan keinginan kita bersama. Terakhir saya hanya ingin meminta kepada masyarakat RW 04 untuk bertanggungjawab karena telah memilih saya, bentuk tanggungjawab itu bisa diwujudkan dengan saling menjaga nilai gotong royong dan selalu guyub rukun didalam maupun diluar” . Sambutan yang disampaikan dalam bahasa Banyumas (ngoko) membuat suasana makin semedulur. Acara pemilihan Ketua RW diakhiri dengan penyerahan stempel oleh Kepala Dusun II (Narwin)