Anjloknya harga gabah hasil panen serta mahal dan langkanya pupuk serta obat-obatan adalah masalah rutin petani. Ini seolah sudah menjadi “takdir” yang digariskan bagi mereka yang terus berulang dan terjadi setiap tahun.
Namun tidak demikian dengan petani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Permata Sari di Desa Tirtosari, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang. Semua kepahitan itu hanyalah masa lalu belaka.
“Walau harga gabah dan beras di pasaran naik turun tidak menentu, gabah dan beras milik kami tetap laku terjual dengan harga tinggi, Rp 3.500 per kilogram dan Rp 6.000-Rp 7.500 per kg,” ujar salah seorang petani, Haryadi.
Gapoktan Permata Sari beranggotakan 72 petani sejak tahun 2004 menerapkan sistem pertanian semi-organik untuk secara perlahan melepaskan diri dari ketergantungan pupuk kimia. Luas tanam padi dengan sistem ini mencapai 50 hektar dan jenis padi yang ditanam adalah jenis mentik wangi susu, varietas lokal di desa tersebut.
Dengan sistem ini, mereka hanya memakai pupuk kimia jenis phonska, sebanyak dua kuintal per hektar. Umumnya petani membutuhkan 3-4 kuintal phonska per hektar. Pupuk lainnya adalah pupuk kandang, sebanyak 10 ton per hektar, serta Ferinsa (fermentasi urine sapi) sebagai pupuk hijau, sebanyak 1-1,5 liter per hektar.
Saat memakai pupuk kimia, biaya yang dikeluarkan petani hingga panen sekitar Rp 1 juta per hektar, dengan sistem pertanian semi-organik Rp 1,3 juta.
Di Banyumas, sekitar 100 petani di Desa Melung, Kecamatan Kedung Banteng, menerapkan sistem pertanian organik sejak 2009. Sukirno Hartoyo (38), Ketua Paguyuban Gerakan Rakyat Gunung (Pager Gunung) di Desa Melung, mengatakan, kebutuhan pupuk urea untuk pertanian telah digantikan pupuk organik dari kotoran ternak kambing dan ayam. Untuk pembasmi hama padi, petani menggunakan ramuan dedaunan dan urine kambing.
Sukirno mengatakan, ada 145 petani yang tergabung dalam Pager Gunung, tetapi belum semua menerapkan sistem pertanian organik. Untuk lahan sayuran, ada 30 petani yang menerapkan pertanian organik murni dengan total lahan seluas empat hektar, sedangkan untuk sawah ada lima orang dengan areal seluas satu setengah hektar. “Selebihnya masih separuh-separuh,” ujarnya.
Timbul (34), salah satunya. Dia baru menggunakan pupuk organik untuk memupuk tanaman di sawahnya seluas 700 meter persegi. Sisanya, seluas 2.100 meter persegi, masih menggunakan pupuk urea. Hal ini dia lakukan karena modalnya terbatas. Untuk memupuk 700 meter persegi lahannya dibutuhkan 1 kuintal pupuk organik seharga Rp 200.000. Biaya itu dua kali lipat lebih besar dibandingkan menggunakan pupuk urea dan TSP.
Tak seperti pertanian padi, pertanian sayuran malah lebih mudah menggunakan pupuk organik. Karinah (38), mengaku sejak enam bulan lalu memupuk lahan sayurnya seluas 350 meter persegi dengan pupuk organik, dia belum pernah lagi memupuknya. “Kalau pakai pupuk organik ini suburnya awet lama,” katanya.
Kepala Desa Melung Budi Satrio mengatakan, pihaknya sedang berusaha memperluas pengetahuan sistem pertanian organik kepada setiap petani di Desa Melung secara bertahap. “Dengan demikian, mereka pun dapat mandiri. Petani tidak lagi bergantung kepada pasar,” katanya. (Regina Rukmorini/Madina Nusrat)
Keren ini petaninya, semoga bisa disebarluaskan kepada kawan-kawan petani di daerah lain. Maju terus!
bagus juga petani nya, Untuk beberapa wilayah di Indonesia, seperti daerah saya (Bima, NTB) itu pupuk urea nya malah sudah di tekan terus pemakaiannya dan di kurangi pasokanya karena bersubsidi, jadi petani juga mulai mengarah kepada pupuk Organik
Berita Selebriti Terbaru – beritaseleb.com